mandiri dalam pengharapan

Rabu, 27 Oktober 2010

Pendekatan Pendidikan Kristen Begitu banyak sekolah-sekolah dan kampus-kampus berdiri dan bahkan menggunakan istilah/nama “Kristen”, tetapi jika diperhatikan dan di teliti lebih dalam, tidak ada semangat dan berita Kristen dan Injil sejati yang didengungkan di dalam banyak lembaga-lembaga pendidikan, bahkan jiwa bisnis, atheisme dan dualisme yang sedang dikembangkan. 1. Pendekatan Pengajaran yang Seimbang Pendidikan Kristen yang benar dan bertanggungjawab seharusnya mementingkan adanya keseimbangan dalam bidang pengajaran maupun pendidikan dan bukan ketimpangan-ketimpangan bahkan kemerosotan-kemerosotan. Adapun 3 prinsip keseimbangan dalam pendekatan pengajaran ini yaitu : a) Integrasi Iman Kristen dan Ilmu Iman Kristen dan theologia Reformed yang ketat, bertanggungjawab dan berdasarkan Alkitab harus bertindak sebagai “hakim” yang harus “menghakimi” semua ilmu. Tidak berarti ilmu bertentangan total dengan iman Kristen. Artinya, ketika para murid mempelajari sebuah ilmu, guru-guru Kristen harus mengarahkan para muridnya untuk bisa mempertimbangkan atau menguji apakah ilmu yang dipelajari itu sesuai dengan Alkitab. Jika ilmu itu sesuai dengan Alkitab, maka guru-guru Kristen harus mengajar ilmu tersebut dgn sungguh-sungguh dan mengintegrasikannya dengan Alkitab, sehingga para murid dapat mengerti kaitan/implikasi dari iman Kristen sejati yang berdasarkan Alkitab yang tidak kompromi dengan/terhadap ilmu-ilmu yang dipelajari yang sesuai dengan Alkitab. Tetapi jika ilmu yang dipelajari bertentangan dengan Alkitab maka ilmu itu tetap harus dipelajari dan disoroti dengan pandangan Alkitab dan theologia Reformed yang “menghakimi”, sehingga para murid Kristen bisa mempertanggungjawabkan iman Kristen yang kokoh dan ilmu pengetahuan yang kuat yang berdasarkan Alkitab. Oleh karena itu, di dalam setiap kelas di sekolah atau kampus, seorang dosen/guru harus benar-benar menjelaskan ilmu-ilmu yang dipelajari dari sudut pandang keKristenan (Reformed) dan berani mengatakan “salah/ sesat/melawan Alkitab” terhadap ilmu-ilmu yang bertentangan dengan Alkitab. Penjelasan ini tidak membuat para murid menbenci ilmu tetapi membuat para murid menghargai, mengerti dan menyoroti semua ilmu dari kacamata theologia Reformed lalu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tepat. b) Keseimbangan Pengajaran Ilmu dan Moral/Etika Kristen Integrasi iman Kristen (Reformed) dan ilmu seharusnya mengarahkan adanya pelaksanaan keseimbangan antara pengajaran ilmu pengetahuan dan moral/etika Kristen. Seorang guru/dosen Kristen bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu kepada para muridnya tetapi juga mengajarkan etika/moral Kristen yang berdasarkan Alkitab. Artinya, para dosen/guru menyadarkan para murid-nya untuk menyeleksi setiap ilmu dari sudut pandang etika Kristen. Misalnya, ketika belajar tentang teknologi (baik kloning, aborsi, euthanasia, dll), dll, para dosen/pendidik harus berani menyatakan aspek-aspek mana dalam ilmu-ilmu tersebut yang bertentangan dengan etika Kristen, seperti contoh, para pendidik harus menjelaskan tentang bahaya penyalahgunaan teknologi (seperti bom atom, kloning manusia, dan tindakan-tindakan jahat lainnya). Prinsip-prinsip etika Kristen yang menyoroti semua ilmu harus mempertimbangkan unsur-unsur : ÿ Apakah ilmu pengetahuan yang dipelajari itu menyenangkan Tuhan (sesuai dengan Alkitab) atau tidak ? Etika Kristen tetap harus bersumber kepada Alkitab, Sumber Kebenaran, jadi ilmu pengetahuan harus diseleksi dan diuji, juga berdasarkan prinsip-prinsip etika Kristen. Misalnya, bagaimana etika Kristen menyoroti boleh tidaknya melakukan aborsi bagi para gadis Kristen dalam kasus pemerkosaan pada kerusuhan bulan Mei 1998 ? ÿ Apakah ilmu pengetahuan yang dipelajari itu berguna/berdampak positif bagi orang lain (kesejahteraan bersama) ? Etika Kristen tetap harus memperhatikan aspek lingkungan tanpa kompromi dengan lingkungan tersebut. Apakah ilmu-ilmu yang dipelajari berdampak positif/meningkatkan kesejahteraan bagi orang lain ? Misalnya, banyak orang (ekonom) tahu segala sesuatu tentang ekonomi bahkan tahu kalau korupsi itu tidak baik dan akan merugikan, tetapi berapa banyak orang sadar akan hal ini dan tidak berani korupsi ? Ini disebabkan karena terlalu ringannya hukuman (bahkan cenderung banyak yang tidak dihukum) bagi para pelaku korupsi bahkan bagi teroris-teroris. c) Integrasi (Ilmu) Teori dan (Ilmu) Praktek Selain itu, pendidikan Kristen tidak hanya mementingkan orientasi ilmu teori dan mengabaikan (ilmu) praktek/realisasinya. Pendidikan Kristen yang bertanggungjawab harus mengintegrasikan juga ilmu teori yang telah disoroti dari/dengan kacamata theologia Reformed dengan (ilmu) praktek yang tetap dalam etika Kristen. Jika tidak ada integrasi yang seimbang antara (ilmu) teori dan (ilmu) praktek (hanya mengutamakan orientasi teori) akan mengakibatkan banyak siswa/ mahasiswa hanya pandai berteori saja seperti realita di Indonesia yang cuma bisa berteori (meskipun banyak yang ngawur) tanpa mau diaplikasikan dalam kehidupan mereka baik dalam pekerjaan dan lingkungan hidup mereka. Sama seperti iman Kristen akan menjadi mati jika tanpa disertai perbuatan (Yakobus 2:26), tetapi tidak berarti iman Kristen tidak perlu dan hanya mementingkan perbuatan. Itu bukan ajaran Alkitab ! Ketika kita berbuat baik sesuai dengan iman kita yang berdasarkan Alkitab, itu hanya oleh anugerah-Nya bukan oleh karena kehebatan diri kita. Demikian juga, (ilmu) praktek perlu dilakukan dari pengertian yang tuntas dari (ilmu) teori, tetapi tetap tidak berarti ilmu teori tidak perlu. Jika ilmu teori tidak perlu, yang penting prakteknya saja, maka pendidikan Kristen akan menjadi kacau (chaos) dan siswa-siswa/mahasiswa-mahasiswa yang belajar akan menjadi liar ! 2. Pendekatan Komunikasi Pendidikan Kristen bukanlah pendidikan Kristen yang egois dan mau menangnya sendiri, tetapi pendidikan Kristen tetap memperhatikan pendekatan komunikasi yang kontekstual tetapi tidak kompromi. Adapun 3 macam pendekatan komunikasi yang diusulkan: a) Komunikasi Sekolah−Orang Tua Sekolah harus berkomunikasi dengan pihak orang tua, tetapi tidak berarti sekolah kompromi dengan permintaan dan kemauan sewenang-wenang dari orangtua murid. Komunikasi ini dapat berupa hubungan yang baik antar sekolah dan orang tua. Misalnya, dalam pembukaan pendaftaran di sekolah/kampus, pihak sekolah/kampus harus mengundang orangtua siswa dan membuka forum penjelasan hal-hal penting tentang pendidikan Kristen dan sekolah/kampus yang didirikan (bisa berupa penguraian misi, visi, realisasi, keunikan dan tanya jawab antara orangtua murid dengan pihak sekolah/kampus). Selain itu, sekolah harus membuka semua akun/uang yang dipakai baik untuk pendidik, kualitas sekolah, fasilitas-fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan sekolah (open financial system). Selain itu, setiap orangtua harus dijelaskan perincian-perincian pemakaian uang sekolah/kuliah anak-anak mereka sehingga mereka tahu dengan benar mengenai pemakaian uang sekolah/kuliah yang bertanggungjawab. b) Komunikasi Sekolah−Masyarakat Sekolah perlu berkomunikasi dengan pihak masyarakat tetapi tetap tidak boleh kompromi dengan masyarakat. Artinya, Ø Sekolah (di daerah) harus ada hubungan networking dan affiliasi ke sekolah-skeolah pusat agar sekolah tidak dianggap rendah (diatur semaunya) oleh masyarakat tertentu dengan alasan tertentu. Tetapi hal ini juga tidak berarti masyarakat boleh sewenang-wenang mengatur sekolah dan sekolah harus (mau tidak mau/dengan terpaksa) menaati permintaan “gila” dari masyarakat, misalnya : sekolah Kristen harus diganti menjadi status sekolah umum. Hubungan networking dengan sekolah-sekolah pusat hanya untuk mempermudah pelaksaan pendirian sekolah-sekolah Kristen di tengah-tengah masyarakat daerah/desa, tetapi tetap memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dan kemurnian dalam proses-proses pendirian dan pelaksanaan sekolah-sekolah Kristen. Misalnya, dalam mengurus proses IMB, sekolah Kristen tetap harus memperjuangkan izin IMB atas nama sekolah Kristen bukan sekolah swasta atau yang lain. Ø Guru-guru/dosen-dosen harus mengarahkan para murid untuk tetap bersosialisasi dengan masyarakat sekitar di tempat sekolah itu berada. Misalnya, dalam hal perbaikan jalan pada hari peringatan kemerdekaan RI dan dalam momen-momen khusus lainnya. Di samping itu, para pendidik Kristen mendo-rong para muridnya untuk memberitakan Injil dengan motivasi, tujuan dan cara yang benar selain pelayanan sosial. c) Komunikasi Sekolah−Negara Sekolah perlu berkomunikasi dengan pihak negara, tetapi tidak boleh kompromi dengan negara. Artinya, ? Sekolah harus tetap mematuhi peraturan-peraturan negara seperti kalau sekolah-sekolah (baik Kristen maupun umum) di Indonesia harus mematuhi UUD 1945 tetapi sekolah-sekolah Kristen di Indonesia tidak boleh sampai mengorbankan iman, misi visi dan panggilan Kristen, misalnya ketika sekolah-sekolah Kristen dipaksa oleh negara/pemerintah untuk membangun tempat-tempat ibadah non-Kristen (misalnya langgar, dll) atau mengajar mata kuliah/pelajaran di luar agama Kristen, lalu sekolah-sekolah “Kristen” menaatinya dengan alasan takut kalau tidak diakui di dalam Depdiknas. Dalam hal ini, sekolah-sekolah Kristen harus bisa membedakan dengan kritis sampai sebatas mana mereka boleh menaati peraturan negara dan batas mana mereka tidak perlu menaati peraturan negara. ? Sekolah-sekolah Kristen melalui kebijakan-kebijakan, pendidik-pendidik harus mengarahkan para murid untuk menjadi warga negara yang baik yang pertama-tama mencintai Tuhan, memegang teguh iman Kristen yang ketat dan bertanggungjawab, lalu setelah itu baru dapat berguna bagi bangsa dan negara. Tetapi orientasi sekolah-sekolah Kristen bukan untuk membentuk siswa/murid menjadi pemimpin bangsa, karena jika demikian, kita bukan mendidik para murid untuk rendah hati, tetapi menjadi egois. Kalau semua murid dididik untuk nantinya menjadi pemimpin bangsa, siapa yang mau jadi rakyatnya ? 3. Pendekatan Hubungan Sekolah−Gereja Seperti yang diungkapkan oleh Cornelius Van Til bahwa sekolah harus berada di bawah gereja, maka sekolah Kristen seharusnya memiliki hubungan yang paling dekat bahkan terutama dengan pihak gereja lokal (bukan merupakan gabungan gereja-gereja yang berbeda doktrin). Adapun 3 pola hubungan sekolah dengan gereja yaitu : a) Sarana Pembinaan Iman Hubungan pertama yang harus dibangun antara gereja dan sekolah adalah hubungan sarana pembinaan iman Kristen. Gereja dengan theologia yang sehat dan benar (Reformed) harus meletakkan/mengajarkan prinsip-prinsip iman Kristen yang berdasarkan Alkitab kepada sekolah yang didirikannya melalui visi, misi dan realisasi yang nyata. Sekolah Kristen yang tidak di bawah gereja yang sehat akan mengakibatkan iman Kristen diajarkan secara sembarangan tanpa memandang latar belakang denominasi gereja. Ini menghasilkan mahasiswa-mahasiswa/siswa-siswa yang belajar tidak memiliki pertanggungjawaban iman yang solid. Akibatnya, para murid menjadi pribadi-pribadi yang menekankan universalisme theologia di dalam keKristenan (yang penting semua gereja rukun), bahkan menekankan universalisme iman (pluralisme iman) di dalam sebuah sekolah yang berplang “Kristen”. Sebagai contoh konkrit, salah satu universitas “Kristen” swasta terkenal di Surabaya mengaku bahwa kampus ini didukung oleh 7 gereja-gereja yang jelas-jelas berbeda doktrin (Protestan, Pentakosta dan Karismatik/Bethel Injil) yang mengakibat kan tidak sampai 5% mahasiswanya yang benar-benar memahami iman Kristen dengan benar dan ber tanggungjawab meskipun misi dan visi yang dibeberkan sangat “muluk-muluk” (“bombastis”, yang tidak pernah direalisasikan), yaitu : “mengakui bahwa keselamatan hanya ada dan melalui Tuhan Yesus dan Alkitab sebagai Firman Tuhan.”, bahkan dengan sok berani mengadakan seminar integrasi iman dan ilmu, tetapi kenyataannya tidak sampai 3% visi dan misi “tidak mungkin” ini benar-benar direalisasikan (khusus tentang integrasi iman dan ilmu). Sebagai sarana pembinaan iman, sekolah bekerja sama dengan gereja seharusnya mengadakan upaya mengintegrasikan iman Kristen dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari misalnya melalui seminar-seminar dalam berbagai bidang yang menyoroti semua ilmu dari sudut pandang Alkitab dan theologia Reformed (seminar ini harus/wajib diikuti oleh semua murid). Selain itu, perlu dilakukan retret-retret rohani yang berkualitas yang diadakan 2 kali setiap tahun untuk meneguhkan iman Kristen mereka. b) Sarana Pengarahan Etika Hubungan kedua yang perlu dibangun antara sekolah dan gereja adalah sarana pengarahan etika. Ini berarti dalam tindakan, gereja tetap mengatur sekolah-sekolah Kristen agar para pendidiknya mengajar etika Kristen di samping mengajar integrasi yang tepat antara iman Kristen dan ilmu. Dalam hal ini, mungkin bisa dilakukan melalui seminar tentang aborsi, euthanasia, dll. Jangan sampai kasus pembunuhan terjadi di sebuah sekolah/kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya ! Kalau gereja dan sekolah Kristen tidak mengajarkan etika Kristen yang baik, ini akan menimbulkan dampak dan pengaruh negatif dari masyarakat bahkan akan memalukan nama Tuhan Yesus. c) Sarana Sosial Hubungan terakhir yang perlu dibangun antara sekolah dan gereja adalah hubungan sarana sosial. Hal ini mencegah sekolah dikategorikan sebagai lembaga bisnis yang mementingkan profit pribadi. Bukan hanya itu saja, hubungan gereja−sekolah bersama-sama membantu masyarakat sekitar sambil memberitakan Injil._

Tidak ada komentar:

Posting Komentar